Wednesday, October 3, 2012

CANDI CANGKUANG – SITUS OBJEK WISATA di GARUT






SITUS CANDI CANGKUANG – SALAH SATU OBJEK WISATA MENARIK di GARUT


Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.
Nama Candi Cangkuang sendiri diambil dari nama desa sekaligus adalah nama tanaman (Pandanus furcatus) yang banyak terdapat di sekitarnya. Daun tanaman cangkuang sering dimanfaatkan penduduknya untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.
Candi ini berjarak sekitar 3 m di sebelah selatan makam Arif Muhammad/Maulana Ifdil Hanafi.





Lokasi Situs Cangkuang
Candi Cangkuang terdapat di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,5 ha. Pulau kecil ini terdapat di tengah danau Cangkuang pada koordinat 106°54'36,79" Bujur Timur dan 7°06'09" Lintang Selatan. Di Wikimapia [1]. Selain pulau yang memiliki candi, di danau ini terdapat pula dua pulau lainnya dengan ukuran yang lebih kecil.
Lokasi danau Cangkuang ini topografinya terdapat pada satu lembah yang subur kira-kira 600-an m l.b.l. yang dikelilingi pegunungan: Gunung Haruman (1.218 m l.b.l.) di sebelah timur - utara, Pasir Kadaleman (681 m l.b.l.) di timur selatan, Pasir Gadung (1.841 m l.b.l.) di sebelah selatan, Gunung Guntur (2.849 m l.b.l.) di sebelah barat-selatan, Gunung Malang (1.329 m l.b.l.) di sebelah barat, Gunung Mandalawangi di sebelah barat-utara, serta Gunung Kaledong (1.249 m l.b.l.) di sebelah utara.

Candi Cangkuang : Sekilas, Menikmati Candi Hindu di Tengah Danau;
Pesona Wisata Alam yang Memukau
– Jalan-jalan kami kali ini menuju Situ dan Candi Cangkuang, sebuah objek wisata yang terletak di Kecamatan Leles Kabupaten Garut. Situ Cangkuang adalah sebuah situ yang berada di tengah kampung Pulo. Sebuah candi berdiri di seberang situ. Untuk mencapai candi, disediakan rakit yang bisa disewa dengan tarif Rp. 3.000,- untuk dewasa dan Rp. 2.000,- untuk anak-anak.
Situ dan Candi Cangkuang tidak sulit dijangkau dari pinggir jalan raya Garut-Bandung. Untuk menuju ke lokasi, bisa menggunakan delman yang berjejer di pinggir jalan raya. Jika menggunakan kendaraan pribadi, hanya menghabiskan waktu kurang lebih 10 menit agar bisa sampai di pinggir Situ Cangkuang.
Candi Cangkuang berdiri di daratan mirip pulau kecil di tengah danau bernama Situ Cangkuang, jadi Anda perlu menggunakan rakit untuk mencapainya. Di dataran ini juga Anda akan melihat pemukiman adat Kampung Pulo dan makam Embah Arief Muhammad. Embah Dalem Arief Muhammad adalah leluhur Kampung Pulo dimana awalnya adalah utusan Kerajaan Mataram yang ditugasi menyerang VOC di Batavia. Akan tetapi, penyerangan tersebut gagal, karena malu dan takut untuk kembali melapor ke Mataram maka ia dan pengikutnya memilih berdiam di Desa Cangkuang dan menyebarkan agama Islam di sini.

Candi Cangkuang menyimpan berbagai kisah menarik. Konon berabad-abad lalu di Kampung Pulo ada seorang putri Hindu cantik jelita. Datanglah seorang panglima perang Mataram bernama Arif Muhamad. Dalam pelarian setelah menderita kekalahan melawan Belanda, ia berjumpa dengan sang putri, kemudian jatuh cinta. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, sang putri hanya mensyaratkan kepada Arif Muhamad untuk dibuatkan sebuah situ di yang dikelilingi oleh kampung. Esoknya apa yang diinginkan sang putri dapat dikabulkan, sebuah situ yang kemudian dinamai Situ Cangkuang. Arif Muhamad pun kemudian menetap dan menyebarkan agama Islam.
Candi cangkuang terdapat 10 Km sebelah utara tarogong arah menuju ke Bandung, tepatnay di daerah Leles. Untuk menuju ketempat obyek wisata ini dari Kec.Leles, baisanya para wisatawan menggunakan kendaraan deman (andong) yang unik. Situ yang dangkal ditutupi oleh bunga teratai yang indah. Kisah turun temurun tersebut dijelaskan oleh Tatang, juru kunci Kampung Pulo, pria paruh baya, ketika kami sampai di lokasi Candi, menggunakan sebuah rakit sewaan. Sebuah candi setinggi delapan setengah meter berdiri, bersisian dengan makam Arif Muhamad. Sebuah harmoni perpaduan Islam-Hindu terasa kental.

Photo-photo Galerry Situs /Situ Candi Cangkuang
Galerry Candi Cangkuang
















Sejarah Situs Cangkuang

Pertama kali candi ditemukan pada 1966 oleh Harsoyo dan Uka Candrasasmita. Penemuan ini berdasarkan laporan Vorderman tahun 1893. Sayangnya, candi Cangkuang ditemukan tak berbentuk. Hanya bersisa 40 persen saja puingnya yang 60 persen yang hilang lalu dibuat replika. Sehingga pada 1976, candi itu utuh kembali. Tepat di belakang komplek candi, terdapat rumah adat yang dengan bebas bisa ditelusuri.


Rumah adat Kampung Pulo hanya berjumlah tujuh saja, tak boleh lebih, juga tak boleh kurang. Susunannya seperti huruf U, lingkungannya asri, terawat, bersih, dan rapi. Jumlah ini simbol dari tujuh anak Arif Muhammad. Satu bangunan masjid melambangkan anak laki-laki.
Enam lainnya berupa rumah tinggal, melambangkan anak perempuan.”Kalau anak sudah menikah, dia harus pindah dari desa ini, tapi kalau ada rumah yang kosong, nanti dipanggil kembali”Walau memeluk agama islam, warga kampung memengang garis keturunan perempuan. Maka, hanya anak perempuan yang berhak tinggal di desa, anak laki-laki harus pindah ketika dewasa, jelas Tatang.

Awalnya penemuan situs ini hanyalah berupa batu fragmen dari sebuah candi dan makam kuno serta arca Siwa yang telah rusak. Arca ini wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm dan 45 cm (tingginya 41 cm). Posisi arca bersila di atas padmasana ganda dengan kaki kiri menyilang datar, alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan.

Dengan kepala nandi ini para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Di tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga. Selain arca ditemukan juga peninggalan pra sejarah berupa alat dari batu obsidian, pecahan-pecahan tembikar dari zaman Neolithicum dan batu-batu besar dari kebudayaan Megalitikum.

Selain menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar yang diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Penelitian selanjutnya (tahun 1967 dan 1968) berhasil menggali bangunan makam.
Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu zaman dengan candi-candi di situs Batujaya dan Cibuaya?), yang mengherankan adalah adanya pemakaman Islam di sampingnya.
Struktur Bangunan Candi
Candi Cangkuang adalah satu-satunya candi Hindu di Jawa Barat yang berhasil dipugar hingga saat ini. Candi ini terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Lokasinya di ketinggian 700 m di atas permukaan air laut melewati keindahan sawah menghijau dan 4 gunung besar di Jawa Barat, yaitu Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi, dan Gunung Guntur. Pemerintah daerah Kabupaten Garut menjadikan daerah ini sebagai obyek wisata budaya dan wisata alam.

Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m.

Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.
Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 m dengan tinggi 2,49 m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 x 2,74 m yang tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 m yang tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 m yang dalamnya 7 m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).

Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga.
Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41 cm.

Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanyalah 35%-an. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui.

Bahan Referensi;
Bambang Budi Utomo. 2004. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu-Budha di Jawa Barat. Kementrian Kebudayaan dan pariwisata, Jakarta. ISBN 979-8041-35-6
Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 74. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4


Edit ; wawansurya
Sumber ;
-Wikipedia.org
- www.affiliate-waones.com
- www.disparbud.jabarprov.go.id





Artikel Menarik Lainnya :



No comments:

Post a Comment